MUARASABAK- Perempuan paruh baya, dengan pakaian sederhana, bedak beras yang menempel di pipi, tengkulu melingkar dikepala seadanya, sebut saja Darsih, selain menjadi ibu rumah tangga, ia juga sekaligus sebagai tulang punggung keluarga sejak suaminya meninggal.
Darsih, seorang Nelayan warga Kampung Laut, lorong Kalimantan Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjabtimur, hampir 15 tahun ini, menghidupi kelurganya dari hasil laut.
Usianya yang memasuki kepala 5, ia tetap semangat dalam mencari pundi-pundi rezeki. Dimana, setiap harinya Darsih harus melewati sungai batang hari demi mencari nafkah yakni mencari Sumbun (kerang Bambu) di tengah pantai laut Beting.
“Disinilah puluhan tahun kami mencari rezeki, bahkan sebelum suami meninggal dunia,” ujarnya, Rabu (1/01/25).
Kondisi ekonomi Darsih tergolong menengah kebawah, sehingga membuat dirinya harus tetap semangat untuk mencari rezeki walapun resiko yang dihadapi tak sebanding dengan hasilnya.
Kepada awak media, Dasrih mengeluhkan bahwa, sudah puluhan tahun, ia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari Pemerintah setempat, dibanding Nelayan-nelayan lainnya. Mereka hampir setiap tahun dapat, ia merasa Pemerintah tak adil terhadap dirinya.
“Sejak suami meninggal dan sampai saat ini kami tak pernah dapat bantuan apapun, seperti beras, minyak, dan yang lainnya, akan tetapi Nelayan yang lain dapat semue,” tutur perempuan yang fasih dengan bahasa melayunya itu.
Selain mencari Sumbun, ibu dari dua anak itu menuturkan, ia terkadang mencari udang nenek atau udang ketak disaat Sumbun mulai berkurang, yang mana hal itu ia lakukan untuk menambah penghasilannya.
“Iya benar, karena Sumbun ini ada musimnya, tidak selalu ada terus, kalau Sumbun sudah mulai berkurang, maka timbulah udang nenek,” terangnya.
Menurut Darsih, ia mengaku hampir setiap hari mencari sumbun, namun ada beberapa kendala, disaat air pasang sehingga tak bisa mencari Sumbun.
Dan terpaksa harus berdiam diri dirumah, karena pantai atau lokasi tempat Sumbun tertutup oleh air laut. Biasanya sampai tiga hari kedepan, barulah air kembali surut dan para Nelayan bergegas kembali ke laut untuk mencari Sumbun.
“Paling istirahat tiga hari saat air pasang, dan saat air surut barulah kami turun lagi, biasnya hari minggu, dan paling lama 10 hari kami dilaut,” jelasnya.
Dirinya menjelaskan, untuk menuju ke Pantai Tebing, Darsih dan temannya harus mengeluarkan ongkos pompong dengan perhitungan per satu kilo meter yakni Rp 5000 sedangkan jarak dari dermaga menuju ke pantai tebing kisaran 7 kilometer perjalanan, dan hapir setiap hari berangkat dikala air laut surut.
“Kadang kami pergi jam 05.00 subuh, kadang juga jam 7 pagi, kalau untuk jadwal dak tentu lah. Dan biasanya kami pergi rame-rame, terkadang orang 10,” timpalnya.
Darsih menjelaskan, bahwa penghasilan dari penjualan karang Bambu tidak lah besar, namun ini harus tetap di lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari.
Setiap harinya, ia mampu menjual sumbun sebanyak 6 hingga 8 kg. Namun sekarang ini sudah mulai berkurang, dan biasanya ada hari-hari tertentu yang memang banyak.
“Kalau kami berdua, dapatlah 6 hingga 8 kg perhari bahkan bisa 20 kg, tapi sekarang ini sudah berkurang, cuman dapat 3 sampai 4 kg. Karena Sumbun sudah mau habis musimnya, biasanya di bulan 3 sampe bulan 5 yang banyak,” kata Darih.
“Kalau untuk keuntungan dari penjualannya, tidak terlalu besar, paling keuntungan bersihnya 50 ribu perhari. itupun kadang dapat kadang juga idak,”pungkas Darsih.
Ia berharap kepada Pemerintah setempat, agar dirinya sebagai warga yang kurang mampu, mendapatkan perhatian tentunya dengan harapan mendapatkan bantuan sembako seperti Nelayan -nelayang yang lainnya.
“Kami merasa kecil hati be bang, dari dulu tak pernah dapat, masa yang lain dapat bantuan, sementara kami idak, kami juga sama dengan mereka, orang susah juge,” tutupnya.(*)